A. Ruang
Lingkup dan Perkembangan Antropologi
Antropologi
merupakan sebuah ilmu yang mempelajari umat manusia (anthropos). Secara
etimologi, antropologi berasal dari kata anthropos berarti manusia dan logos
berarti ilmu. Antropologi memandang manusia sebagai sesuatu yang kompleks dari
segi fisik, emosi, sosial, dan kebudayaannya. Antropologi sering pula disebut
sebagai ilmu tentang manusia dan kebudayaannya.
Antropologi
mulai dikenal banyak orang sebagai sebuah ilmu setelah diselenggarakannya
simposium International Symposium on Anthropologi pada tahun 1951, yang
dihadiri oleh lebih dari 60 tokoh antropologi dari negara-negara di kawasan
Ero-Amerika dan Uni Soviet. Simposium ini menghasilkan buku antropologi
berjudul “Anthropology Today” yang di redaksi oleh A.R. Kroeber (1953), “An
Appraisal of Anthropology Today” yang di redaksi oleh S. Tax, dkk. (1954),
“Yearbook of Anthropology” yang di redaksi oleh W.L. Thomas Jr. (1955), dan
“Current Anthropology” yang di redaksi oleh W.L. Thomas Jr. (1956). Setelah
simposium ini, di beberapa wilayah berkembang pemikiran-pemikiran antropologi
yang bersifat teoritis, sedangkan di wilayah yang lain antropologi berkembang
dalam tataran fungsi praktisnya.
Dilihat dari
perkembangannya, sejarah antropologi dapat dibagi ke dalam 5 fase yaitu fase
pertama bercirikan adanya bahan-bahan deskripsi suku bangsa
yang ditulis oleh para
musafir, penjelajah dan pemerintah jajahan. Fase kedua dari perkembangan
antropologi, ilmu itu bersifat akademisi dan tujuannya adalah sbb: mempelajari
masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud mendapatkan pengertian mengenai
tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan
manusia dimuka bumi. Fase Ketiga antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis,
yang tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di
luar Eropa seperti Inggris dan negara kolonial lainnya guna kepentingan
pemerintah kolonial dan guna mendapat pengertian tentang masyarakat modern yang
bersifat kompleks. Sementara Fase Keempat merupakan kelanjutannya di mana
antropologi semakin berkembang baik mencangkup teori maupun metode kajiannya.
Fase ke lima merupakan tahap terbaru yang menunjukkan perkembangan antropologi
setelah tahun 1970-an.
Menurut
Kontjaraningrat, antropologi di Indonesia hampir tidak terikat oleh tradisi
antropologi manapun dan belum mempunyai tradisi yang kuat. Oleh karena itu
seleksi dan kombinasi dari beberapa unsur atau aliran dapat dipilih sesuai
dengan kebutuhan masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi.
B. Cabang Ilmu
Antropologi dan Hubungannya dengan Ilmu Sosial lainnya
Ruang
lingkup dan kajian antropologi memfokuskan kepada lima masalah di bawah ini,
yaitu:
1. masalah
sejarah asal dan perkembangan manusia dilihat dari ciri-ciri tubuhnya secara
evolusi yang dipandang dari segi biologi;
2. masalah
sejarah terjadinya berbagai ragam manusia dari segi ciri-ciri fisiknya.
3. masalah
perkembangan, penyebaran, dan terjadinya beragam kebudayaan di dunia;
4. masalah
sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa di seluruh
dunia;
5. masalah
mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat
suku bangsa di dunia.
Berdasarkan
penggolongan masalah tersebut, ilmu antropologi terbagi ke dalam 5 cabang ilmu
yaitu:
1. Paleoantropologi;
Ilmu bagian yang meneliti asal usul atau terjadinya serta evolusi manusia.
2. Antropologi
Fisik: Bagian dari antropologi yang mencoba memahami sejarah terjadinya beragam
mahluk manusia berdasarkan perbedaan ciri-ciri tubuhnya.
3. Prasejarah:
Mempelajari sejarah perkembangan dan penyebaran semua kebudayaan manusia
sebelum dan sesudah manusia mengenal tulisan.
4. Etnolinguistik:
Suatu ilmu bagian yang pada awalnya erat berkaitan dengan antropologi.
5. Etnologi:
Ilmu bagian yang mempelajari asas-asas manusia dengan cara meneliti sejumlah
kebudayaan suku bangsa yang tersebar di seluruh dunia.
Spesialisasi
yang terjadi pada bidang antropologi memungkinkan terjadinya kerja sama
antarbidang ilmu, yaitu antropologi dan bidang lain. Sosiologi menjadi salah
satu bidang ilmu yang paling erat dengan antropologi karena dianggap banyak
persamaannya. Di beberapa universitas kedua ilmu itu telah dilebur menjadi satu
jurusan saja yaitu jurusan antropologi-sosiologi atau sosiologi-antropologi.
Keterkaitan antara antropologi dengan beberapa bidang ilmu lainnya, di
antaranya adalah dengan ilmu administrasi, Ilmu Politik, Ilmu Sejarah, dan
psikologi.
C. TEORI EVOLUSI DAN PERKEMBANGANNYA
1. Teori
Evolusi dan Antropologi
Disiplin
ilmu antropologi memperoleh tempat sebagai salah satu ilmu pengetahuan setelah
menerapkan teori, konsep, dan metode sebagaimana yang dikembangkan oleh ilmu
pengetahuan alam. Salah satu teori yang dipinjam adalah teori evolusi dari
disiplin ilmu biologi. Pemikiran evolusionisme Darwin menyatakan bahwa semua
bentuk kehidupan dan jenis-jenis makhluk hidup yang ada di muka bumi ini
mengalami proses evolusi. Pemikiran evolusi ini diterapkan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis proses-proses evolusi sosial budaya
masyarakat. Salah satunya adalah pemikiran
Herbert Spencer, salah seorang tokoh evolusionis, yang
berpendapat bahwa perkembangan masyarakat dan kebudayaan tiap-tiap bangsa di
dunia telah atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama (evolusi
universal).
2. Teori
Evolusi dan Antropologi Masa Kini
Pemikiran
evolusi multi-linear muncul dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pemikiran
evolusi unilinear, ketika dihadapkan pada bahan-bahan etnografi yang ada, pada
kasus-kasus tertentu ternyata tidak berlaku universal. Sehubungan dengan fakta
ini maka dikembangkanlah konsep inti kebudayaan untuk menjelaskan garis-garis
spesifik perkembangan dalam masyarakat atau kelompok masyarakat. Pokok pikiran
dari teori evolusi multi-linear adalah bahwa bagi kebudayaan yang memiliki inti
kebudayaan yang kurang lebih sama akan berevolusi mengikuti suatu rangkaian
evolusi yang sama meskipun berbeda dalam detil spesifiknya.
Dalam rangka
menjelaskan asal mula terjadinya aneka ragam masyarakat dan kebudayaan manusia
di seluruh belahan dunia, selain dikenal adanya teori evolusi juga dikenal
adanya teori difusi. Menurut pemikiran difusionisme, kebudayaan manusia itu
pangkalnya adalah satu dan di suatu tempat tertentu, yaitu pada waktu manusia
baru saja muncul di dunia. Kemudian kebudayaan induk tersebut berkembang dan
menyebar ke dalam banyak kebudayaan baru dikarenakan pengaruh lingkungan hidup,
alam, dan waktu.
Pemikiran
darwinisme dan pemikiran evolusionisme pada akhirnya mengalami perkembangan
yang memunculkan pemikiran neo-darwinisme dan neo-evolusionisme. Neo-darwinisme
berpendapat bahwa masyarakat dan kebudayaan manusia adalah perpanjangan
(berasal) dari makhluk hewan yang berwujud manusia – yang berevolusi. Sementara
itu di lain pihak neo-evolusionisme berpendapat bahwa evolusi tidak harus
selalu diartikan atau disamakan dengan kemajuan, seperti dari kondisi sederhana
menjadi kompleks. Perbedaan kedua pemikiran ini menunjukkan apa sesungguhnya
manusia, dan perbedaannya dengan makhluk yang lainnya.
TEORI STRUKTURALISME DAN PERKEMBANGANNYA
Fungsionalisme
dan Struktural-Fungsionalisme
Dalam
menganalisis masyarakat dan kebudayaan umat manusia, salah satu pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan fungsionalisme dan struktural fungsionalisme.
Pendekatan ini muncul didasari oleh pemikiran bahwa manusia sepanjang hayatnya
dipengaruhi oleh pemikiran dan tindakan orang lain di sekitarnya, sehingga
manusia tidak pernah seratus persen menentukan pilihan tindakan, sikap, atau
perilaku tanpa mempertimbangkan orang lain.
Teori
fungsionalisme dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski, yang banyak mendapat
pengaruh dari ilmu psikologi. Dia mengembangkan teori fungsi kebudayaan,
melalui kajiannnya yang sangat terkenal yaitu sistem kula pada masyarakat
Trobiand. Berdasarkan kajiannya dia menyimpulkan bahwa setiap unsur kebudayaan
mempunyai fungsi sosial terhadap unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Di lain
pihak, Radcliffe-Brown dalam mengkaji gejala sosial yang ada di masyarakat
menawarkan konsep struktur sosial. Menurutnya masyarakat adalah sistem sosial
yang mempunyai struktur seperti halnya molekul atau organisma. Kajian yang
menggunakan konsep struktur sosial ini juga dilakukan oleh Raymond Firth,
Evans-Pritchard, dan Fortes.
Strukturalisme:
Kritik dan Perkembangannya
Claude Levi
Strauss adalah tokoh dari teori strukturalisme. Sumbangan yang paling dikenal
dari Levi Staruss adalah pemikirannya dalam teori oposisi binar. Dalam rangka
menjelaskan teori oposisi binar ini, dia mengupas masalah segi tiga kuliner
yaitu kajian tentang makanan. Selain itu Levi Strauss juga tertarik dengan
masalah kekerabatan dan mengkaji masalah sistem pertukaran dalam kekerabatan.
Dalam
perkembangannya ternyata pendekatan struktural fungsional dianggap tidak cukup
memadai digunakan untuk mengkaji masyarakat modern. Oleh karena itu muncul
pendekatan jaringan sosial, yang dianggap lebih mampu menjelaskan gejala sosial
yang ada di masyarakat. Analisis jaringan sosial ini menekankan pada analisis
situasional, di mana tindakan sosial, perilaku, dan sikap seorang manusia
dianggap tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungannya.
Dalam rangka
menjelaskan pentingnya konsep jaringan sosial, para ahli membedakan antara
penggunaan ide jaringan sosial sebatas metaforikal dan sebagai konsep
analitikal. Di dalam realita kehidupan, jaringan hubungan sosial ini sangat
kompleks dan saling tumpang tindih atau saling memotong. Untuk itu maka
dibedakan antara jaringan total dengan jaringan partial. Sementara itu bila
ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial maka
dibedakan atas jaringan interes, jaringan sentiment, dan jaringan power.
ETNOGRAFI
Pengertian,
Konsep dan Teknik
Etnografi
adalah metode yang lazim digunakan dalam penelitian antropologi. Penelitian
etnografi ini mensyaratkan dilakukannya penelitian lapangan di mana peneliti
bertindak sebagai orang yang sedang mempelajari suatu kebudayaan. Dalam
melakukan penelitian etnografi, peneliti harus menguasai secara baik
konsep-konsep dan teknik-teknik yang akan digunakannya. Di samping itu untuk
memperoleh data yang obyektif maka peneliti harus tinggal di dalam komunitas
yang ditelitinya.
Pada periode
kajian antropologi klasik, metode etnografi digunakan untuk meneliti masyarakat
sederhana. Akan tetapi metode etnografi ini telah mengalami evolusi besar, di
mana dewasa ini metode etnografi bisa juga diterapkan untuk meneliti masyarakat
kompleks. Dalam meneliti masyarakat kompleks, peneliti akan memulainya dengan
mengambil satu atau lebih culture scene sebagai fokus kajian. Di samping itu
penelitian pada masyarakat kompleks juga mulai menggunakan teknik-teknik
penelitian lainnya seperti teknik survei. Sementara itu teknik analisis
jaringan sosial lazim digunakan untuk meneliti masyarakat kompleks dalam rangka
mendeskripsikan pola-pola hubungan.
Penelitian Etnografi
pada Masyarakat Kompleks
Masyarakat
kompleks adalah masyarakat yang mempunyai karakteristik terbuka, besar dan
cenderung heterogen. Dengan demikian maka kebudayaan masyarakat kompleks tidak
mewakili cara pandang hidup total dari warganya. Kebudayaan masyarakat kompleks
merupakan kelompok-kelompok kebudayaan yang saling tumpang tindih. Untuk itu
dalam meneliti kebudayaan pada masyarakat kompleks kita harus menentukan satu
atau lebih culture scene sebagai fokus penelitian.
Pengumpulan
data penelitian pada masyarakat kompleks selain menggunakan metode etnografi
juga digunakan teknik survei untuk mendapatkan gambaran umum dari subyek yang
ditelitinya. Di samping itu penelitian pada masyarakat kompleks juga
menggunakan metode analisis jaringan sosial. Analisis jaringan sosial sendiri
digunakan untuk mendeskripsikan pola-pola hubungan antara satu orang atau satu
pihak dengan orang atau pihak yang lainnya. Analisis jaringan sosial dilakukan
dengan cara menentukan alpha sebagai titik sentral jaringan yang kemudian
diperlebar pada para alter.
KEBUDAYAAN
Pengertian
dan Karakteristik Kebudayaan
Terdapat dua
pendekatan dalam mempelajari kebudayaan yaitu pendekatan ideasional dan
pendekatan behaviorisme. Kedua pendekatan ini memandang kebudayaan melalui
kacamata yang berbeda. Pendekatan ideasional melihat kebudayaan sebagai sistem
kognitif, sementara pendekatan behaviorisme melihat kebudayaan sebagai sistem
adaptif. Kedua pendekatan ini melahirkan sejumlah pengertian kebudayaan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli. Melalui kedua pendekatan ini maka
wujud kebudayaan dapat dilihat sebagai sistem ide/gagasan, sistem perilaku, dan
artefak.
Sementara
itu dalam melihat dan memahami kebudayaan kita harus mengacu pada sejumlah
karakteristik kebudayaan. Karakteristik kebudayaan tersebut antara lain adalah
bahwa kebudayaan itu dimiliki bersama, diperoleh melalui belajar, bersifat
simbolis, bersifat adaptif dan maladapti, bersifat relatif dan universal.
Tujuh Unsur
Kebudayaan Universal
Setiap
kebudayaan di manapun akan mengandung unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari
tujuh unsur yaitu sistem pengetahuan (kognitif), kekerabatan, sistem teknologi
dan peralatan hidup, sistem religi, sistem mata pencaharian hidup, bahasa dan
kesenian. Antara unsur satu dan lainnya akan saling berkaitan tidak dapat
berdiri sendiri.
Isi dari
setiap unsur kebudayaan akan berbeda antara kebudayaan satu dari yang lainnya. Hal
ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya faktor geografis. Setiap isi
dari unsur kebudayaan tidak bersifat statis tetapi akan berubah sesuai dengan
tingkat kebutuhan dan proses adaptif yang diperlukan. Sebab pada dasarnya
kebudayaan berfungsi mempermudah kehidupan manusia.
Di samping
itu terdapat beberapa aspek dari kebudayaan, yaitu integrasi kebudayaan, fokus
kebudayaan, dan etos kebudayaan. Aspek-aspek kebudayaan ini juga menjelaskan
pada kita bagaimana rupa dan fungsi dari kebudayaan masyarakat tersebut.
KEHIDUPAN KOLEKTIF ATAU MASYARAKAT
Pengertian,
Konsep dan Bagian-Bagian Masyarakat
Masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas
bersama. Sedangkan komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati
suatu wilayah yang nyata dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. Jadi
penekanannya lebih pada wilayah.
Kata
“masyarakat” berasal dari akar kata syaraka yang berarti “ikut serta, saling
bergaul”. Dalam bahasa Arab istilah untuk masyarakat yang bermakna sama dengan
bahasa Indonesia “berkumpul” adalah mujtama.
Dalam suatu
masyarakat terdapat juga bagian-bagian yang berupa kesatuan-kesatuan manusia
dengan ciri-ciri pengikat yang berbeda sesuai dengan kepentingannya. Kerumunan
(crowd) dan kategori sosial merupakan kesatuan manusia yang tidak dapat disebut
masyarakat karena tidak memiliki empat faktor pengikat, sedangkan kelompok dan
komunitas dapat disebut masyarakat karena memiliki faktor tersebut. Empat
faktor pengikat masyarakat yaitu ada interaksi antaranggota; adat istiadat dan
norma-norma yang mengatur perilaku; berkesinambungan; serta memiliki satu rasa
identitas yang kuat.
Interaksi
dan Pranata Sosial dalam Kehidupan Masyarakat
Interaksi
merupakan salah satu faktor pengikat masyarakat. Interaksi ini merupakan
tindakan individu dalam menjalani kehidupannya. Dalam berinteraksi ini pranata
merupakan faktor utama yang mewadahi sistem-sistemnya. Pranata merupakan sistem
aturan (norma khusus) yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap untuk
memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam masyarakat.
Ada 8
klasifikasi pranata yang sifatnya tidak terlalu baku. Artinya pranata-pranata
tersebut masih dapat berkembang sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakatnya. Semakin kompleks masyarakatnya maka akan semakin beragam
pranatanya. Di samping itu pranata tidak hanya lahir dari dalam masyarakat yang
bersangkutan, tetapi juga dari luar masyarakat yang bersangkutan. Dalam
masyarakat juga dikenal adanya peranan sosial, struktur sosial dan jaringan
sosial.
PERUBAHAN KEBUDAYAAN
Teori dan
Mekanisme Perubahan Kebudayaan
Salah satu
faktor yang mempengaruhi perubahan kebudayaan yang banyak menjadi perhatian
para ahli antropologi adalah adanya penemuan baru dan gejala persebaran
unsur-unsur kebudayaan. Untuk mengenali karakteristik unsur kebudayaan dan
perubahan kebudayaan terdapat beberapa teori di antaranya adalah teori evolusi
dan difusi. Teori evolusi menggambarkan bahwa perubahan kebudayaan terjadi
secara perlahan-lahan dan bertahap. Setiap masyarakat mengalami proses evolusi
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, masing-masing masyarakat menunjukkan kebudayaan
yang berbeda-beda. Salah satu masyarakat dikenal telah maju, sedangkan
masyarakat yang lain masih dianggap atau tergolong sebagai masyarakat yang
belum maju. Teori difusi memberi ilustrasi lain bahwa perubahan kebudayaan
terjadi karena adanya proses pengaruh mempengaruhi dari kebudayaan yang satu
terhadap kebudayaan lainnya. Persamaan unsur kebudayaan pada masyarakat yang
berbeda dianggap bukan sebagai hasil dari proses evolusi tetapi karena adanya
kontak atau hubungan yang terjadi pada masa lampau dari kedua atau lebih
masyarakat yang memiliki kesamaan kebudayaan tersebut.
Perubahan
kebudayaan terjadi melalui mekanisme yang berbeda-beda. Suatu kebudayaan
masyarakat akan berubah melalui mekanisme adanya inovasi atau penemuan
baru dalam masyarakat
itu sendiri. Sedangkan mekanisme lainnya dapat
terjadi melalui proses difusi, akulturasi, culture loss, genocide, dan
perubahan terencana (direct change).
Modernisasi
dan Kondisi Masyarakat Mendatang
Modernisasi
merupakan fenomena dunia yang dijadikan “alat” untuk mengejar ketinggalan dan
memperoleh kemajuan tertentu yang pernah atau sudah diraih oleh negara maju.
Dengan demikian sejumlah negara atau bangsa yang tidak melaksanakan modernisasi
dianggap akan menjadi negara atau bangsa yang semakin tertinggal bahkan akan
dikuasai oleh negara atau bangsa yang lebih berpengaruh. Modernisasi di Barat
didahului oleh komersialisasi dan industrialisasi, sedangkan di negara
non-Barat, modernisasi didahului oleh komersialisasi dan birokrasi.
Modernisasi
menurut Reinhart Bendix (1964) adalah seluruh perubahan sosial politik yang
menyertai industrialisasi. Industrialisasi didefinisikannya sebagai pembangunan
ekonomi melalui transformasi sumber daya dan kuantitas energi yang digunakan.
Makna dari esensi modernisasi adalah sejenis tatanan sosial modern atau yang
sedang berada dalam proses menjadi modern..
Beberapa
ciri-ciri aspek kemodernan adalah berkenaan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang terus berlanjut, setidaknya mengenai produksi dan konsumsi secara tetap;
kadar partisipasi rakyat dalam pemerintahan yang memadai; difusi norma-norma
sekuler-rasional dalam kebudayaan; peningkatan mobilitas dalam masyarakat;
transformasi kepribadian individu, sehingga dapat berfungsi secara efektif
dalam tatanan sosial yang sesuai dengan tuntutan kemodernan.
Globalisasi
dicirikan dengan lahirnya perjanjian perdagangan bebas yang disepakati oleh
beberapa negara seperti WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement
on Tariffs and Trade), dan AFTA (Asia Facific Trade Associations). Perjanjian
yang disepakati tersebut adalah bahwa para produsen memiliki kebebasan untuk
memasarkan produknya ke negara-negara di seluruh dunia, paling tidak bagi
negara-negara pendukung perdagangan bebas. Sebuah negara tidak memiliki kontrol
secara penuh terhadap pengaruh masuknya produk dari luar. Keberadaan perusahaan
transnasional seperti Toyota, McDonald, dan lain-lain yang terdapat di satu
negara di luar negara asal perusahaan tersebut merupakan indikasi gejala
globalisasi.
KAJIAN-KAJIAN ANTROPOLOGI
Religi
Religi
merupakan salah satu unsur universal dari kebudayaan. Karakteristik utama
religi adalah kepercayaan pada makhluk dan kekuatan supranatural. Masyarakat di
dunia memiliki beragam konsepsi tentang makhluk supranatural, namun pada
dasarnya dapat diklasifikan atas tiga kategori yaitu dewa-dewi, arwah leluhur,
dan makhluk supranatural lain/bukan manusia. Makhluk-makhluk supranatural itu
dianggap menguasai dunia atau bagian tertentu dari dunia.
Selain
keyakinan akan adanya makhluk dan kekuatan supranatural, tiga komponen penting
lainnya dari religi adalah emosi keagamaan, sistem upacara religi, dan
umat/pengikut religi.
Ada dua
upacara ritual penting yang sering dilakukan masyarakat di dunia yaitu upacara
peralihan (Rites of Passage) dan
upacara intensifikasi (Rites of Intensification). Upacara
peralihan adalah upacara ritual yang berkaitan dengan peralihan dari satu tahap
kehidupan manusia ke tahap kehidupan berikutnya. Kelahiran, masa pubertas,
perkawinan, dan kematian merupakan tahap-tahap yang dianggap penting dalam
kehidupan manusia. Upacara intensifikasi adalah upacara yang dilakukan ketika
suatu kelompok dilanda krisis. Upacara ini mempersatukan semua orang dalam
kelompok untuk mengatasi masalah bersama-sama.
Religi
memiliki fungsi psikologis dan sosial. Religi berperan penting dalam
pengendalian sosial. Religi juga berfungsi dalam memelihara solidaritas sosial.
Fungsi lain dari religi terkait dengan bidang pendidikan.
Sistem
Perekonomian
Ahli
antropologi berasumsi bahwa motivasi seseorang dalam melakukan kegiatan ekonomi
sangatlah beragam. Penggunaan sumber daya yang dimiliki manusia dimotivasi oleh
berbagai tujuan antara lain: a subsistence fund, a replacement fund, a
ceremonial fund, a social fund, dan a rent fund.
Sistem
produksi (mode of production) pada dasarnya merupakan strategi adaptasi
masyarakat terhadap lingkungan. Faktor-faktor produksi (means of production)
meliputi tanah/teritori, tenaga kerja, teknologi, dan modal.
Pertukaran/sistem
distribusi yang berkembang di berbagai kebudayaan di dunia dapat difokuskan
atas tiga prinsip yaitu: prinsip pasar, redistribusi, dan resiprositas (Karl
Polanyi, 1957 dalam Kottak 1991). Resiprositas terbagi atas tiga tingkat yaitu
resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas seimbang (balanced reciprocity),
resiprositas negatif (negative reciprocity).
Salah satu
alat pertukaran yang banyak digunakan di dunia adalah uang. Beberapa fungsi
uang antara lain adalah sebagai alat pertukaran, sebagai standar nilai, dan
sebagai alat pembayaran. Mata uang yang memiliki ketiga fungsi tersebut disebut
a general purpose money, sedangkan mata uang yang tidak memenuhi ketiga fungsi
disebut a special purpose money
MASA DEPAN ANTROPOLOGI
Pemahaman
Konsep
Setiap
kajian antropologi yang pernah dilakukan selalu berusaha untuk memahami
kebudayaan dari masyarakat yang dipelajarinya. Oleh karena itu, dalam
antropologi, kebudayaan merupakan konsep sentral. Hanya dalam perkembangannya,
kini konsep kebudayaan tidak sekedar merupakan alat untuk mendeskripsikan atau
alat untuk mengumpulkan data-data kebudayaan tetapi lebih ke arah sebagai “alat
analisis”.
Konsep yang
mendasar dalam Kegiatan Belajar 2 ini adalah “kebudayaan” dan “adaptasi”. Dalam
hal ini, adaptasi adalah berkenaan dengan bagaimana manusia mengatur hidupnya
untuk menghadapi berbagai kemungkinan di dalam kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan-kebutuhan dan hambatan-hambatan dalam memenuhinya menuntut manusia
untuk beradaptasi. Manusia harus mampu memelihara keseimbangan yang
terus-menerus berubah antara kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan potensi yang
terdapat di lingkungan di mana dia tinggal dan hidup. Menghadapi berbagai
kemungkinan tersebut dalam menjalani hidup inilah yang menjadi tugas utama
sebuah “kebudayaan”.
Kebudayaan
memang tampaknya sangat stabil. Namun, sebenarnya, sedikit atau banyak,
perubahan merupakan karakteristik utama dari semua kebudayaan. Baik itu
kebudayaan dari masyarakat maju, maupun kebudayaan dari masyarakat yang sedang
berkembang atau masyarakat tradisional. Selain itu, karena kebudayaan mempunyai
tugas utama untuk membuat manusia sanggup menghadapi berbagai kemungkinan yang
terus menerus berubah dalam menjalani hidup ini maka semua masyarakat manusia
yang masih eksis di muka bumi ini mempunyai kebudayaan tanpa kecuali. Di
samping itu, sudah selayaknya bila dikatakan bahwa kebudayaan tertentu adalah
yang paling sesuai bagi masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu pula tidak ada
kebudayaan yang lebih tinggi atau lebih baik dari kebudayaan lainnya.
Sementara
itu, sebuah kebudayaan juga perlu memelihara eksistensi dirinya. Kebudayaan,
dalam menjaga keberlangsungannya adalah dengan cara menciptakan
tradisi-tradisi, seperti yang terdapat pada berbagai pranata-pranata sosial
yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kebudayaan mengoperasionalkan
model-model pengetahuan yang dimilikinya ke dalam pranata-pranata sosial. Ada
pranata perkawinan, pranata agama, pranata pendidikan, pranata politik dan
sebagainya.
Sedangkan
hubungannya dengan “struktur sosial”, pranata-pranata sosial ini berfungsi
sebagai pengontrol dalam menjaga keberlangsungan struktur-struktur sosial yang
bersumber pada kebudayaan. Selain itu, kebudayaan memberi ‘warna’ atau
‘karakter’ terhadap struktur-struktur sosial yang ada sehingga
struktur-struktur sosial yang terdapat pada kebudayaan tertentu akan tampak
‘khas’ bila dibandingkan dengan struktur-struktur sosial yang terdapat pada
kebudayaan yang berbeda. Dengan demikian, struktur sosial merupakan
‘operasionalisasi’ dari pranata-pranata sosial – yang telah disesuaikan dengan
lingkungan-lingkungan sosial yang ada dalam kehidupan nyata pendukung
kebudayaan yang bersangkutan.
Perubahan
dan Keteraturan
Perubahan
adalah karakteristik umum dari semua kebudayaan. Meski perubahan merupakan
karakteristik kebudayaan, namun proses perubahan tersebut selalu berakhir
dengan “keteraturan”, yaitu menuju proses “keteraturan baru”. Setelah tercapai
posisi “keteraturan baru” maka proses perubahan akan berjalan kembali. Demikian
seterusnya. Oleh karena itu kebudayaan tampak “stabil” dan “kuat” tetapi juga
bersifat lentur.
Perubahan
dikatakan sebagai karakteristik umum dari semua kebudayaan karena secara
alamiah:
1. Lingkungan
di mana manusia tinggal dan hidup – yang tampaknya stabil – pada hakikatnya
juga dinamis atau selalu mengalami proses perubahan.
2. Adanya
variasi pengetahuan kebudayaan dari para pendukung kebudayaan itu sendiri.
3. Penemuan
dari para pendukung kebudayaan sehingga terjadi suatu pembaharuan atau inovasi.
4. Selain itu,
perubahan juga terjadi karena bermula dari berinteraksi (pertemuan dengan)
kebudayaan asing (misalnya karena proses difusi atau hubungan sosial tertentu)
sehingga terjadi asimilasi atau akulturasi, pembaharuan atau hilangnya
unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan.
Proses
perubahan yang berlangsung terus menerus ini, pada akhirnya membawa umat
manusia masuk ke dalam peradaban perkotaan seperti yang terjadi saat ini.
Berbicara tentang peradaban kota tentunya tidak lepas dari proses perubahan
karena modernisasi, yang merupakan akibat dan kelanjutan dari keempat faktor di
atas.
Modernisasi
adalah suatu proses global di mana masyarakat nonindustri berusaha mendapatkan
ciri-cirinya dari masyarakat industri atau masyarakat “maju” sehingga terjadi
proses perubahan kultural pada masyarakat nonindustri. Masyarakat nonindustri
mencoba mengejar ketinggalan terhadap apa yang sudah dicapai oleh masyarakat
industri/maju dalam waktu satu generasi (relatif cepat). Akibatnya, masyarakat
nonindustri banyak yang mengalami ketidaksiapan atau kesulitan untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan yang sedemikian cepat. Akhirnya, Tumbuh
kebudayaan “ketidakpuasan” dan “culture lag” di sebagian besar masyarakat
nonindustri.
Sementara
proses modernisasi berlangsung, proses globalisasi pun sedang terjadi.
Masyarakat dunia sedang bergerak ke arah tumbuhnya satu kebudayaan dunia yang
“homogen”. Proses modernisasi dan globalisasi ini mendorong masyarakat
nonindustri (negara-negara sedang berkembang dan dunia ketiga) ke arah
kecenderungan untuk meniru produk, teknologi dan praktek-praktek masyarakat maju.
Sementara itu, reaksi lain juga muncul seperti penolakan unsur-unsur yang
berbau kebudayaan asing, tumbuhnya etnosentrisme baru, evangelisme/dakwahisme
bahkan yang lebih ekstrem lagi muncul seperti “teror-teror” bom yang banyak
terjadi saat ini (militan).
Masa Depan
Umat Manusia dan Kajian Antropologi
Kebudayaan pada dasarnya selalu dinamis karena harus
terus-menerus menyesuai diri dengan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan hidup
para pendukung kebudayaan tersebut. Demikian halnya dengan antropologi. Bukan
karena masyarakat nonindustri atau tradisional semakin lama semakin sedikit
yang tersisa dan hampir punah karena arus modernisasi dan globalisasi, lalu
antropologi kehilangan arah. Selayaknya kebudayaan, antropologi yang dalam
setiap kajiannya selalu berusaha memahami kebudayaan dari masyarakat yang
ditelitinya (kebudayaan sebagai konsep sentral antropologi) juga dituntut mampu
beradaptasi atas perubahan-perubahan yang dialami oleh masyarakat kajiannya.
Dalam hal ini, antropologi dituntut beradaptasi secara kultural pula, yaitu
adaptasi dalam hal teori dan konsep agar tetap eksis dan mampu memberikan
sumbangan teoritis dan praktis.
Tidak hanya beradaptasi semata, tetapi antropologi
juga dituntut untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan atau temuan-temuan baru
di bidang teori dan konsep dari hasil kajian-kajian yang dilakukannya. Dengan
‘menghilangnya’ masyarakat tradisional bukan berarti antropologi sudah
kehilangan lahan penelitian/kajian. Saat ini sudah banyak kajian tentang
masyarakat dari peneliti itu sendiri.
Memang
banyak kritikan yang ditujukan kepada antropologi dan para ahlinya, terutama di
Indonesia. Kritikan-kritikan tersebut umumnya berkisar pada masalah relevansi
antropologi dan sumbangan praktis di era pembangunan atau di era modernisasi
dan globalisasi saat ini. Misalnya, kajian tentang masalah masyarakat yang
hampir punah, waktu penelitian yang relatif lebih lama ketimbang waktu yang
diperlukan oleh ilmu sosial lain, masalah sejauh mana antropologi mampu
menghasilkan generalisasi atas studi yang dilakukan, dan apakah teori-teori dan
konsep-konsepnya masih relevan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang
ada di era globalisasi. Berbagai kritikan ini harus dipandang sebagai masukan
karena hal ini merupakan salah satu pendorong untuk perkembangan antropologi
itu sendiri.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlan Dengan Baik Dan Sopan